Blogger Widgets

Wadah elektronik yang disajikan sederhana ini merupakan komponen komplementer E-LEARNING pada Universitas Jambi yang dimaksudkan sebagai penguat perkuliahan tatap muka. Namun demikian, bila khalayak lain bermaksud memanfaatkannya, saya persilakan dengan senang hati. Semoga ikhtiar kecil ini bermanfaat. Amin.

Kepada segenap pengunjung blog ini, dimohonkan maklumnya sehubungan dengan isi blog ini belum maksimal. Isi blog ini insyaallah akan di-upload-kan berangsur-angsur sesuai dengan keadaan kebutuhan.

Jumat, 13 Januari 2012

PARAGRAF

Keraf (1980:62) menyatakan bahwa  paragraf adalah kesatuan pikiran yang terikat dengan sebuah pikiran utama.  Oshima dan Hogue (2007:38) menyatakan  “A Paragraph is a group of related statements that the writer develops a subject”.  McCrimmon (1984:195) berpendapat, “A paragraph is a set of related sentences that work together to ekpress or develop an idea”. Tarigan (2008:35) berpendapat, “Paragraf adalah seperangkat kalimat yang tersusun logis-sistematis yang merupakan satu kesatuan ekspresi pikiran yang relevan dan mendukung pikiran pokok yang tersirat dalam keseluruhan karangan”.

Walau diungkapkan pada redaksi yang berbeda, pengertian-pengertian tersebut memiliki persamaan substansi. Persamaan tersebut terletak pada konsep kesatuan dan kehadiran ide pokok.  Keraf dan Tarigan secara jelas menyatakan adanya kesatuan. McCrimmon menyatakan kesatuan dengan redaksi “a set of related sentences”. Seperangkat kalimat yang saling berhubungan mengandung pengertian bahwa sejumlah kalimat yang mengandung pikiran-pikiran itu menyatu dalam hubungannya. Oshima dan Hogue mengemukakan kesatuan dengan redaksi “a group of  related statements”. Sekelompok pernyataan yang saling berhubungan secara jelas menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan dalam grup yang bersangkutan menyatu dalam saling keterkaitannya itu. Kehadiran ide pokok oleh Keraf diungkapkan dengan istilah pikiran utama; oleh Tarigan diungkapkan dengan istilah pikiran pokok; oleh McCrimmon dengan istilah “an idea”; oleh Oshima dan Hogue  dinyatakan dengan istilah “a subject”.
Konsep kesatuan, untuk kasus tertentu pada paragraf transisi bisa berupa satu buah pikiran atau satu buah kalimat (Keraf, 1980:63). Namun selebihnya, kesatuan yang dimaksud dinyatakan oleh beberapa kalimat atau beberapa pikiran.
Secara umum, pikiran yang ada di dalamnya terdiri atas satu pikiran utama dan satu atau beberapa pikiran penjelas. Semua pikiran tersebut, secara kompak, menjelaskan suatu pikiran. Pikiran yang dijelaskan tersebut tidak lain adalah pikiran utama.
Berdasarkan hal tadi, dapat dikatakan bahwa paragraf itu merupakan suatu sistem, yakni sistem pikiran yang dituangkan secara tertulis. Sebagai suatu sistem, paragraf ini tentunya memiliki seperangkat pikiran yang tertata sedemikian rupa dan saling berhubungan membentuk suatu kesatuan (totalitas). Dalam KBBI Daring (2008) dinyatakan bahwa sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Perangkat unsur yang ada dalam paragraf itu, secara umum, terdiri atas pikiran utama dan pikiran penjelas. Secara lebih khusus, komponen penjelas ini terdiri atas beberapa pikiran lagi. Jumlah dan materi pikiran penjelas ini relatif. Hal itu tergantung pada pikiran utama yang dijelaskannya.
Secara teknis, paragraf ini ditandai oleh teknik tertentu dalam penulisannya. Menurut konvensi penulisan yang ditetapkan, penanda satuan yang bersangkutan sebagai paragraf ditandai oleh dua alternatif penandaan, yakni takuk dan lurus (Bagus, 2010). Pertama, satuan paragraf ditandai oleh penulisan awal paragraf dijorokkan ke dalam teks ke arah kanan antara 5 sampai dengan 7 karakter. Bentuk paragraf demikain disebut bentuk takuk. Kedua, satuan paragraf ditandai oleh pemisahan satuan yang bersangkutan dengan spasi yang lebih dari spasi baris di dalam paragraf yang bersangkutan. Selisih spasi yang dimaksud antara 0.5 sampai dengan 1 spasi. Bentuk demikian disebut bentuk lurus.
Sekaitan dengan teknis penulisan paragraf ini, Tarigan (2008) mengatakan bahwa penulisan paragraf itu dimulai dengan baris baru yang yang dimajukan ke depan. Oshima dan Hogue (2007:3) menunjukkan bahwa penulisan awal paragraf itu dilakukan dengan menginden kalimat awal paragraf yang bersangkutan.
Untuk kepentingan menulis, karakteristik paragraf secara hakiki dan secara teknis perlu diperhatikan penulis. Untuk menghasilkan paragraf yang baik, penulis harus memerhatikan karakteristik paragraf secara hakiki. Untuk membantu pembaca dalam mengenali atau mengidentifikasi satuan-satuan paragraf, penulis harus memerhatikan karakteristik paragraf secara teknis.
Untuk kepentingan membaca, karakteristik paragraf yang dipedomani pembaca adalah karakteristik secara teknis. Jumlah kesatuan pikiran pada sebuah kesatuan fisik tulisan, pada fase awal pembacaan, tidak dijadikan pedoman pembaca. Walaupun di dalam kesatuan fisik  tersebut terdapat dua buah atau lebih kesatuan pikiran, dari kacamata pembaca, satuan yang bersangkutan dianggap sebagai satu paragraf. Hanya saja, tentunya paragraf yang demikian itu tidak benar.
1.      Unsur Pembentuk Paragraf
            Pendapat akhli dalam hal unsur pembentuk paragraf ini beragam. Keragaman pendapat ini terletak pada variasi jumlah unsur. Tarigan mengatakan empat unsur; Oshima dan Hogue mengatakan 3 unsur; Fitzpatrick mengatakan dua unsur. Tarigan (2008:13) mengatakan bahwa unsur pembentuk paragraf itu bisa terdiri atas elemen transisi, kalimat topik, kalimat pengembang, dan kalimat penegas. Oshima dan Hogue (2007: 38) berkata, “A paragraph has three parts: a topik sentence, several supporting sentences, and a concluding sentence”.  Fitzpatrick (2005:13) berpendapat, “The basic unit in writing is the paragraph, which consists of two parts: the main point or topik sentence and the support”.
            Tarigan mengatakan bahwa unsur-unsur pembentuk paragraf yang dikemukakan tadi tidak semuanya selalu hadir pada paragraf. Unsur yang selalu hadir hanya kalimat topik dan kalimat pengembang (Tarigan, 2008:15). Kehadiran kedua unsur ini diakui oleh semua ahli di bidang menulis. Sehubungan dengan itu, unsur paragraf yang akan dikaji pada bagian ini adalah kalimat utama dan kalimat penjelas.
            Tarigan (2008:18) mengatakan bahwa pada bahasa Indonesia terdapat istilah pikiran utama dan kalimat utama. Kedua istilah ini merujuk pada hal yang sama. Lebih lanjut, dikatakannya bahwa kalimat utama itu merupakan perwujudan pikiran utama. Kemudian, dikatakannya bahwa pada bahasa Inggeris terdapat istilah main idea dan topik sentence yang keduanya ini merujuk pada hal yang sama juga (Tarigan, 2008:18). Keraf (1980:70) mengatakan bahwa pikiran utama terdapat pada kalimat utama. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua istilah, yakni kalimat utama dan pikiran utama, diakui bisa saling menggantikan.
            Pengakuan akan bisa saling menggantikannya kedua istilah tadi perlu ditinjau ulang. Dalam batas tertentu, keduanya memang bisa saling menggantikan. Namun pada konteks tertentu, kedua hal tadi tidak bisa saling menggantikan. Bahkan, pengakuan tadi mengandung  kerancuan berpikir.  Pada pengertian paragraf diakui oleh semua ahli bahwa paragraf hanya memiliki satu pikiran utama atau satu ide pokok. Kalau ide pokok atau pikiran utama identik dengan kalimat utama, berarti paragraf itu hanya memiliki satu kalimat utama. Jika hal ini diakui, maka akan ada ketidakkonsistenan berpikir pada saat menghadapi kenyataan adanya paragraf yang memiliki sebuah pikiran utama yang diwujudkan pada dua buah kalimat. McCrimmon (1984:1999) mengatakan hal berikut.
A topik sentence is a statement that summarizes the idea being developed in a paragraph. It is often a single sentence, though sometimes you will need two sentence to state the topik.
Dari pernyataan McCrimmon tadi diketahui bahwa rupanya sebuah pikiran utama bisa jadi harus dituangkan pada dua buah kalimat. Dengan demikian, satu buah pikiran utama tidak identik dengan satu buah kalimat utama. Dengan demikian pula, paling tidak pada penelitian ini, istilah yang akan digunakan adalah pikiran utama.
            Kalau istilah kalimat utama diganti dengan istilah pikiran utama, maka istilah  pikiran penjelas akan diganti dengan istilah pikiran penjelas. Dengan demikian unsur pembentuk paragraf yang dikupas pada bagian ini adalah pikiran utama dan pikiran penjelas.
a.       Pikiran Utama
Sesuai dengan namanya, pikiran utama merupakan  pikiran yang diutamakan atau dipentingkan, yakni sesuatu yang dijadikan utama atau penting. Alwasilah (2007:125) mengatakan bahwa kalimat topik menyatakan gagasan terpenting dalam paragraf. Gagasan terpenting tersebut tidak lain adalah pikiran utama. Oshima dan Hogue (2007:39) mengatakan “The topik sentence is the most important sentence in a paragraph”. Kalimat yang paling penting dalam paragraf tersebut tentunya mengandung pikiran yang paling penting.
Status utama atau penting tadi mengandung pengertian bahwa  pikiran utama merupakan hal yang dimaksudkan pada paragraf yang bersangkutan. Walau di dalam paragraf  tersebut terdapat banyak pikiran yang membangunnya, namun yang dimaksudkan dengan uraian tersebut hanya satu, yakni pikiran utama itu.  Semua pikiran pembentuk paragraf mengarah kepada hal yang dimaksudkan tadi, sesuatu yang diutamakan. Oleh karena itu, pikiran utama merupakan rangkuman paragraf. McCrimmon (1984:199) mengatakan “A topik sentence is a statement that summarizes the idea being developed in a paragraph.”  Oleh karena itu, pikiran utama itu bisa juga dikatakan sebagai pikiran yang menjiwai seluruh pikiran dalam paragraf tersebut (Nafiah, 1981).
Karena pikiran utama itu menjiwai semua pikiran yang ada maka pikiran utama itu bersifat umum. Fitzpatrick (2005:13) mengatakan “…is called a topik sentence. It is the most general sentence in a paragraph”. Tarigan (2008:18) mengatakan bahwa pikiran utama paragraf bersifat umum. Pikiran-pikiran lainnya, yang berupa pikiran penjelas, bersifat khusus.  Hal ini mengandung pengertian bahwa pikiran utama itu memiliki muatan aspek pikiran yang banyak/luas. Di situlah letak keumuman yang dimaksudkan. Sementara, pikiran-pikiran penjelas tidak lain adalah aspek-aspek pikiran terkandung pada pikiran umum tadi itu. Pada saat penulis menuangkan pikiran-pikiran khusus sebagai penjelas, pada dasarnya penulis yang bersangkutan sedang menuangkan aspek-aspek khusus yang melekat pada pikiran umum tadi.

b.      Pikiran Penjelas
Sesuai dengan namanya, pikiran penjelas adalah pikiran yang menjelaskan pikiran utama. Oshima dan Hogue (2007:44) berkata, “Supporting sentences explain the topik by giving more information about it.”  Fitzpatrick (2005:13) berpendapat, “The supporting sentences provide the details and evidence the reader needs to understand the main point.”  Dalam pikiran-pikiran penjelas, disajikan informasi yang berupa rincian keterangan tentang pikiran utama. Dengan informasi-informasi tersebut, pikiran utama menjadi jelas. 
Hal tadi mengandung pengertian bahwa semua pikiran penjelas pada paragraf yang bersangkutan harus berpusat pada pikiran utama yang sama. McCrimmon (1984:195) berkata, “The paragraph as a whole should focus on that idea”.  Hal ini berkaitan dengan peran pikiran penjelas. Sebagaimana tergambar pada pengertiannya, pikiran harus fungsional dalam menjelaskan pikiran utama. Peran ini akan jalan bila pikiran penjelas menerangkan aspek kandungan pikiran utama. Pikiran penjelas yang demikian dinamakan mengacu atau berpusat pada pikiran utama.
Jumlah pikiran penjelas yang harus dihadirkan untuk menjelaskan pikiran utama ini relatif. Hal ini tergantung pada topik yang dikandung pikiran utama. Idealnya, penentuan jumlah pikiran penjelas ini dilakukan dengan memperhatikan topik pikiran utama dan kebutuhan pembaca. McCrimmon (1984:201) berujar, “How much explanation an idea requires depends on how much your reader need.” Hanya saja, untuk mengidentifikasi kebutuhan pembaca itu relatif lebih sulit daripada mengidentikasi aspek kandungan pikiran utama.
Pikiran utama itu memang memiliki aspek-aspek kandungan yang harus diinformasikan pada pikiran penjelas. Oshima dan Hogue (2007:39) mengatakan bahwa pikiran utama memiliki topik. Topik yang dimaksud adalah pokok masalah paragraf yang bersangkutan. Topik tersebut adalah konsep. Sementara konsep memiliki komprehensi (Rapar,1996:29). Adapun yang dimaksudkan dengan komprehensi adalah segala hal yang terkandung di dalam konsep yang bersangkutan (Poespoprojo, 1999:52).

2.       Kriteria Paragraf
Tarigan (2008:36) mengemukakan bahwa paragraf harus memenuhi persyaratan berikut ini. Pertama, isi paragraf hanya berpusat pada satu hal saja. Kedua, isi paragaf relevan dengan isi karangan. Ketiga, paragraf harus koheren dan menyatu. Keempat, kalimat topik harus dikembangkan dengan jelas dan sempurna. Lima, struktur paragraf harus bervariasi. Enam, paragraf harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dari syarat yang dikemukakan Tarigan, syarat yang bisa dipedomani pada penelitian ini adalah syarat pertama, tentang keberpusatan isi paragraf dengan satu hal; syarat keiga tentang koherensi dan kesatuan; dan syarat yang keempat tentang kejelasan dan kesempurnaan pengembangan pikiran utama. Sementara syarat kedua, tentang relevansi isi paragraf dengan karangan; syarat kelima, tentang variasi struktur paragraf; syarat keenam, tentang kebenaran bahasa yang digunakan,  tidak akan dipedomani dalam penelitian ini. Kesesuaian isi paragraf dengan karangan, variasi struktur paragraf, dan kebenaran penggunaan bahasa memang harus diperhatikan pada saat menulis, namun hal itu merupakan ketentuan yang lebih erat dengan hal di luar paragraf. Jadi, dari pendapat Tarigan ini, persyaratan paragraf yang bisa digunakan adalah syarat kesatuan, koherensi, kesempurnaan pengembangan.
Keraf (1980:67) mengatakan bahwa paragraf harus memiliki kesatuan, koherensi, dan pengembangan pikiran utama. Yang dimaksudkan Keraf (1980:67) dengan kesatuan adalah semua kalimat yang membentuk paragraf yang bersangkutan bersama-sama menyatakan topik yang sama. Yang dimaksudkan Keraf (1980:75) dengan koherensi adalah kekompakkan hubungan antarkalimat pembentuk paragraf. Yang dimaksudkan Keraf (1980:81) dengan pengembangan adalah pengurutan kalimat berdasarkan isinya.
Persyaratan kesatuan dan koherensi yang dikemukakan Keraf ini sama dengan yang dikemukakan Tarigan. Syarat yang berbeda adalah pengembangan atau pengurutan kalimat berdasarkan isinya. Dengan demikian, dengan memperhatikan pendapat Tarigan dan Keraf, diperoleh persyaratan yang harus dipedomani, yakni kesatuan, koherensi, kesempurnaan pengembangan, dan pengurutan kalimat.
Penyimpulan syarat paragraf tersebut sejalan dengan pendapat McCrimmon. McCrimmon (1984:195) mengatakan bahwa persyaratan paragraf itu ada empat, yakni dalam hal kesatuan (unity), kelengkapan (completeness), kelayakan urutan (reasonable order), dan koherensi (coherence). Yang dimaksudkan McCrimmon (1984:195) dengan kesatuan (unity)  adalah semua kalimat membicarakan satu topik.  Yang dimaksudkan McCrimmon (1984:201) dengan kelengkapan (completeness) adalah penyajian pikiran yang lengkap tentang topik yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan pembaca.  Yang dimaksudkan McCrimmon (1984:204) kelayakan urutan (reasonable order) adalah pengurutan sajian kalimat pembentuk paragraf layak dilihat dari isi kalimat yang bersangkutan. Yang dimaksudkan McCrimmon (1984:209) dengan koherensi (coherence) adalah kebertautan kalimat sebelum dan sesudah pada paragraf yang bersangkutan.
Mengenai syarat kelayakan urutan tidak dijadikan persyaratan secara khusus pada penelitian ini. Persyaratan tersebut dimasukkan pada pernyatan koherensi. Dalam persyaratan koherensi terdapat faktor penentu koherensi, di antaranya, adalah pengurutan pikiran (Keraf, 1980:76). McCrimmon (1984:209) berpendapat, “A paragraph that lack orderly movement will not be coherent,…”. Dengan demikian, persyatan paragraf yang dipedomani pada penelitian ini adalah kesatuan, kelengkapan, dan koherensi.
a.      Kesatuan
            Sebagaimana telah dikemukakan, yang dimaksudkan dengan kesatuan ini adalah kemendukungan semua pikiran terhadap pikiran utama yang sama dalam paragraf. Tarigan (2008:36) mengemukakan bahwa isi paragraf hanya berpusat pada satu hal saja. Keraf (1980:67) mengatakan bahwa semua kalimat pembentuk paragraf bersama-sama harus menyatakan topik yang sama. McCrimmon (1984:195)  berkata, “… it must discuss one topik only, that is, it must have unity of subject matter.” Pada pengertian paragraf diketahui bahwa pikiran pembentuk paragraf, kecuali paragraf transisi, terdiri atas beberapa pikiran. Setiap pikiran yang ada menerangkan aspek kandungan pikiran utama.  Kondisi demikian dinamakan keadaan yang menyatu. Fitzpatrick (2005:38) berpendapat, “When all your supporting information is clearly related to your point, your composition has unity”.
            Semua pikiran pembentuk suatu paragraf memang harus menyatu. Hal ini berkaitan dengan hakikat dan fungsi paragraf. Jelas sekali, secara hakiki, paragraf merupakan suatu kesatuan pikiran yang menjelaskan satu pokok pikiran. Berdasarkan hakikat ini, jelas juga bahwa fungsi paragraf adalah menerangkan suatu pikiran utama. Berarti, pada paragraf yang bersangkutan harus terdapat kejelasan tentang pikiran utama yang bersangkutan. Kejelasan tersebut hanya akan ada bila semua pikiran menerangkan aspek-aspek yang terkandung dalam pikiran utama yang bersangkutan.
            Demi kesatuan paragraf, pikiran yang tidak sesuai dengan pikiran utama harus dibuang. Pikiran yang tidak sesuai itu hanya akan membingungkan pembaca. Pembaca tidak membutuhkan pikiran yang mengaburkan penjelasan pikiran utama.
b.      Kelengkapan
            Kelengkapan paragraf ini maksudnya adalah kelengkapan pikiran dalam suatu paragraf. Kelengkapan pikiran ini berkaitan dengan kuantitas tersedianya pikiran penjelas suatu paragraf. Secara morfologis, kelengkapan berasal dari bentuk dasar lengkap. Dalam KBBI Daring (Pusat Bahasa, 2008) dicantumkan bahwa lengkap mengandung arti tersedia segalanya. Dengan demikian, kelengkapan pikiran paragraf itu berupa tersedianya segala pikiran yang dibutuhkan. McCrimmon (1984:2001) secara  mengatakan bahwa kelengkapan (completeness) berkaitan dengan jumlah informasi tentang suatu ide pokok. Tarigan (2008:37) pun mengatakan bahwa bila pengembangan kalimat topik sudah sampai pada keadaan yang menunjukkan tidak ada lagi bagian yang terlewati maka paragraf tersebut sudah lengkap.
            Paragraf memang harus memiliki kelengkapan pikiran penjelas. Pada pengertian paragraf tergambar bahwa paragraf harus mampu membuat pikiran utama menjadi jelas. Oleh karenanya, di dalam paragraf disajikan pikiran-pikiran penjelas. Oshima dan Hogue (2007:44) berkata, “Support sentences explain the topik by giving more information about it.” Pikiran utama yang bersangkutan akan menjadi jelas bila segala aspek kandungannya dikemukakan pada pikiran-pikiran penjelas. Semakin lengkap aspek yang bersangkutan dikemukakan, semakin jelas pikiran utama itu.
            Hal tadi menunjukkan bahwa pikiran utama  memiliki beberapa aspek pikiran bawahan.
Sebagai pikiran, pikiran utama ini merupakan hubungan antara satu ide dengan ide lain. Dalam buku Filsafat Tradisional, Burhan (1964:6) mengatakan bahwa pikiran itu adalah hubungan antara satu ide dan ide lain. Ide yang dimaksudkan buka ide sebagaimana digunakan pada pengertian umum sebagai gagasan atau pikiran. Ide yang dimaksudkan merupakan istilah dunia logika dan filsafat. Ide tersebut adalah representasi suatu objek pada intelek sebagai hasil tangkapan (Poespoprojo, 1999:87).
Di sisi selanjutnya, di samping akan melahirkan pikiran, hubungan antara satu ide dengan ide lain itu juga akan melahirkan ide baru. Yang direpresentasikan oleh ide baru tersebut tidak lain adalah hubungan antara kedua ide pembetuk pikiran. Hal ini terbukti dari kenyataan yang menunjukkan bahwa sebuah kalimat bisa diparafrasekan menjadi sebuah frase. Sementara frase hanya merujuk pada sebuah objek sehingga pada proposisi hanya menduduki satu term. Menurut logika, ide hanya menduduki satu term, di antaranya term pada subjek (Poepoprojo, 1999:50). Menurut kebahasaan, frase tidak melebihi batas fungsi, yakni hanya menduduki satu fungsi, di antaranya fungsi subjek (Ramlan, 1983:137).
            Contoh, kalimat “Ia adalah seorang guru” dapat diparafrasekan menjadi frase “status ia sebagai guru”. Ide “ia” dan ide “seorang guru” membentuk pikiran yang direpresentasikan pada kalimat “Ia seorang guru”. Hubungan ide “ia” dan “seorang guru” melahirkan ide baru “status ia sebagai guru”. Buktinya, ide “status ia sebagai guru” pada proposisi hanya menduduki satu term. Contoh, “Status ia sebagai guru adalah kebanggaan keluarga.”
            Di sisi lainnya, diketahui bahwa sebuah ide memiliki komprehensi (1996:29). Adapun yang dimaksudkan dengan komprehensi adalah segala hal yang terkandung di dalam konsep yang bersangkutan (Poespoprojo, 1999:52). Karenanya, komprehensi ini biasa disebut juga isi ide.
            Kajian logika tadi memberikan kontribusi berupa keyakinan bahwa demi kejelasan pikiran utama paragraf, pikiran penjelas yang disajikan harus lengkap. Pikiran utama mengandung sebuah ide yang menjiwainya.  Ide tersebut memiliki beberapa aspek kandungannya. Aspek kandungan tersebut merupakan “identitas” yang potensial untuk membuat ide tadi menjadi jelas. Oleh karena itu, semakin lengkap aspek kandungan ide disajikan pada pikiran penjelas, ide pikiran utama itu akan semakin jelas.
c.        Koherensi
            Secara fisik, kecuali paragraf transisi, paragraf ini terdiri atas beberapa kalimat. Kalimat-kalimat tersebut bukan kalimat yang terpisah-pisah, tidak berserangkaian. Kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat-kalimat yang bertautan. Kalimat sebelumnya bertautan dengan kalimat berikutnya. Sehingga, McCrimmon (1984:195) berpendapat, “A paragraph is a set of related sentences….”. Paragraf yang dibentuk oleh kalimat-kalimat demikian dinamakan paragraf yang koheren (Keraf, 1980:75). Dengan demikian, koherensi paragraf ini tidak lain adalah kebertautan kalimat-kalimat pembentuk paragraf.
            Paragraf memang harus koheren. Hal ini berkaitan dengan fungsi kalimat pembentuk paragraf. Semua kalimat yang disajikan pada paragraf dimaksudkan untuk menjelas pikiran utama. Oshima dan Hogue (2007:44) berkata, “Supporting sentences explain the topik….”.  Oleh karena itu, pada konsep kesatuan, dinyatakan bahwa setiap kalimat harus menerangkan aspek kandungan pikiran utama. Hal ini mengandung pengertian bahwa pikiran pada sejumlah kalimat penjelas itu berada dalam satu daerah medan pikiran, yakni medan pikiran utama. Sehubungan dengan itu, secara substansial, pikiran-pikiran pada semua kalimat penjelas ini memiliki hubungan paralel, yakni hubungan antar sesama pikiran penjelas. Kejelasan hubungan paralel tersebut akan mempertegas kesatuan paragraf sekaligus mempertegas jelasnya pikiran utama. Oleh karena itu, kejelasan hubungan antara kalimat sebelumnya dan kalimat sesudahnya harus terlihat jelas. Dengan kata lain, kalimat-kalimat pembentuk paragraf tersebut harus koheren.
            Jika kalimat-kalimat pembentuk paragraf tidak koheren, akan terkesan bahwa kalimat-kalimat tersebut hanya merupakan kumpulan kalimat, yakni kumpulan kalimat  yang tidak bertautan (Keraf, 1980:75; McCrimmon, 1984:209). Hal ini akan berdampak terhadap kejelasan pikiran utama. Pikiran utama akan menjadi tidak jelas. Dengan demikian, paragraf yang tidak koheren akan menghasilkan paragraf yang gagal dalam menjelaskan pikiran utamanya.
            Untuk menghindari kegagalan dalam koherensi, faktor penentu koherensi perlu diperhatikan. Faktor penentu koherensi paragraf ini adalah aspek kebahasaan dan aspek pengurutan pikiran (Keraf, 1980:76). Oshima dan Hogue (2007:79) mengatakan bahwa faktor penentu koherensi tersebut adalah kekonsistenan penggunaan noun dan pronoun, penggunaan tanda transisi, dan pengurutan pikiran. Penggunaan noun dan pronoun serta tanda transisi termasuk aspek kebahasaan sebagaimana dimaksudkan oleh Keraf.
            Aspek kebahasaan yang bisa difungsikan sebagai alat pembangun koherensi adalah penggunaan pronoun, repetisi satuan bahasa, dan tanda transisi. Penggunaan pronoun pada kalimat berikutnya merujuk pada objek tertentu yang dikemukakan pada kalimat sebelumnya (McCrimmon, 1984:212).  Oleh karena itu, pronoun merupakan  alat untuk menghubungan suatu kalimat dengan kalimat sebelumnya. Pengulangan kata atau frase pada kalimat berikutnya menunjukkan ada kaitan dengan kalimat sebelumnya yang menggunakan kata atau frase yang sama (Keraf, 1980:76). Oleh karena itu, pengulangan atau repetisi satuan bahasa bisa dijadikan alat koherensi. Satuan transisi seperti kemudian, sesudah itu, jadi, selanjutnya, dan oleh karena itu menunjukkan bahwa kalimat yang diawali transisi tersebut merupakan hal yang berkaitan dengan kalimat sebelumnya (Keraf, 1980:76). Oleh karena itu, tanda transisi merupakan alat koherensi.
            Sebagaimana telah dikemukakan, di samping aspek bahasa, aspek pengurutan pikiran merupakan penentu koherensi (Keraf, 1980:76; Oshima dan Hogue, 2007:79; McCrimmon, 1984:209).  Sudah dikatakan juga bahwa pikiran-pikiran penjelas itu merupakan pikiran yang berada dalam medan makna yang sama, yakni medan makna pikiran utama yang bersangkutan. Pada realitanya, pikiran-pikiran tersebut memiliki pola hubungan tertentu. Pada saat direpresentasikan dalam paragraf, urutan hubungan yang berkorespondensi dengan realita urutannya akan menunjukkan koherensi pikiran sebelumnya dengan pikiran selanjutnya.
            McCrimmon (1984:2004) berpendapat, “In well-constructed paragraph the sentences follow a consistent order.” Menurutnya, pikiran dalam paragraf yang baik disajikan dengan urutan yang konsisten. Pikiran-pikiran yang disajikan secara berurutan berdasarkan sudut pandang tertentu. Dari awal hingga akhir, sudut pandang yang bersangkutan dipedomani secara tetap atau konsisten. Adapun sudut pandang pengurutan tersebut teridi atas tiga, yakni urutan waktu, tempat, dan logis (Keraf, 1980:81). Pengurutan secara logis, di antaranya, terdiri atas urutan sebab-akibat, umum-khusus, dan proses (McCrimmon,1984:2004).
3.      Pengertian Kemampuan Menulis Paragraf
            Sebagai sebuah kemampuan, kemampuan menulis paragraf ini berupa potensi yang ada di dalam diri individu untuk menulis paragraf.  Dalam KBBI Daring (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008) dicantumkan bahwa kemampuan itu tidak lain adalah kesanggupan atau kekuatan. Kesanggupan atau kekuatan yang dimaksudkan adalah kesanggupan untuk melakukan sesuatu. Kaitannya dengan menulis paragraf, kesanggupan tersebut tentunya berupa kesanggupan untuk menulis paragraf. Kesanggupan ini terletak pada diri individu.  Hergenhahn dan Olson (2008:5) megilustrasikan bahwa potensi tersebut ada walaupun tidak diwujudkan dalam tindakan. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan dalam tindakan, potensi tersebut tidak akan bisa diidentifikasi. Kemampuan tersebut akan terlihat pada saat potensi yang bersangkutan dinyatakan pada performa, yakni menulis paragraf.
            Pada dasarnya, sebagai kegiatan menulis, menulis paragraf ini tidak lain adalah tindakan menuangkan pikiran pada satuan bahasa tulis yang berupa paragraf. Tarigan (2008:4) menyatakan bahwa menulis merupakan kegiatan produktif. Kegiatan produktif  yang dimaksudkan adalah menuangkan ide dalam tulisan. Dalam hal menulis paragraf, tulisan tersebut tentunya berupa paragraf. Sebagai hasil penuangan ide, paragraf ini memang  berupa kesatuan pikiran (Keraf,1980:62). Dengan demikian, kemampuan menulis paragraf itu berupa potensi menuangkan pikiran dalam bentuk paragraf.
            Penuangan pikiran dalam paragraf tersebut, sebagai suatu kemampuan, tidak bisa sembarangan dilakukan. Hal ini mengingat karakteristik dan fungsi paragraf. Sebagai suatu entitas, paragraf ini memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik ini membedakan dirinya dari entitas-entitas lainnya dalam kegiatan berbahasa. Di samping itu, demi kepentingan efektivitas fungsinya, paragraf ini memiliki persyaratan tertentu juga. Fungsi paragraf akan berjalan bila persyaratannya dipenuhi. Karakteristik fisik paragraf, di antaranya, dikemukakan oleh Oshima dan Hogue (2007:3). Karakteristik substansi paragraf, di antaranya, dikemukakan oleh Oshima dan Hogue (2007:38); Fitzpatrick (2005:13), dan Tarigan (2008:13). Persyaratan paragraf, di antaranya, dikemukakan oleh Keraf (1980:67), McCrimmon (1984:195), Tarigan (2008:35), dan Heukon (2008:56). Oleh karena itu, kemampuan menulis paragraf ini berupa potensi menuangkan pikiran dalam bentuk paragraf sesuai dengan karakteristik dan persyaratan paragraf.
            Berdasarkan kajian tadi, dapat dirumuskan aspek-aspek inti kandungan konsep kemampuan menulis paragraf sebagai berikut.
(a)    Kemampuan menulis paragraf itu berupa potensi yang hanya bisa diidentifikasi pada performa menulis paragraf.
(b)   Kemampuan menulis paragraf itu berupa penuangan ide dalam satuan bahasa tulis yang dinamakan paragraf.
(c)    Kemampuan menulis paragraf ini berupa kemampuan mematuhi karakteristik dan persyaratan paragraf.
Kemampuan menulis paragraf ini berkaitan dengan kajian teori tentang penegrtian paragraf, unsur pembentuk paragraf, kriteria paragraf, dan indikator kemampuan menulis paragraf.




Wawan Gunawan/PBS FKIP Unja

4 komentar:

  1. Amalla Rizki Putri
    NIM. A1C311011
    Fisika Reguler A

    BalasHapus
  2. Sdri Amalia.., silakan gunakan artikel ini guna menambah wawasan kita, memperkaya materi kuliah kita. Bila perlu, silakan perkaya wawasan Anda dengan artikel pada web lain.

    BalasHapus
  3. baik pak. tapi saya ingin bertanya, manakah yang kita lakukan terlebih dahulu, memilih pikiran utama untuk dikembangkan atau menentukan pikiran utama dari suatu pikiran utama yang kita buat?

    BalasHapus
  4. Pembuatan paragraf berawal dari adanya pikiran utama.

    BalasHapus