Blogger Widgets

Wadah elektronik yang disajikan sederhana ini merupakan komponen komplementer E-LEARNING pada Universitas Jambi yang dimaksudkan sebagai penguat perkuliahan tatap muka. Namun demikian, bila khalayak lain bermaksud memanfaatkannya, saya persilakan dengan senang hati. Semoga ikhtiar kecil ini bermanfaat. Amin.

Kepada segenap pengunjung blog ini, dimohonkan maklumnya sehubungan dengan isi blog ini belum maksimal. Isi blog ini insyaallah akan di-upload-kan berangsur-angsur sesuai dengan keadaan kebutuhan.

Kamis, 16 Februari 2012

KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MENULIS PARAGRAF

            Pada dasarnya belajar itu adalah pengubahan perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman (Hergenhahn, 2008:8). Potensi perilaku tersebut merujuk pada apa yang ada dalam diri pembelajar, yakni kemampuan. Segala kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan kognisi, yang merupakan muara pengetahuan. American Heritage Dictionary dalam Hergenhahn (2008:8) mendefinisikan belajar sebagai sesuatu untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman melalui pengalaman. Walaupun definisi tersebut dikecam beberapa psikolog, namun adalah nyata bahwa belajar memang untuk mendapatkan pengetahuan.

            Menurut pendekatan konstruktivisme, dalam belajar, pengetahuan itu bisa direkonstruksi (Santrock,2007:8). Demi efektivitas, kegiatan belajar merekonstruksi pengetahuan tadi perlu dikontrol melalui scaffolding (Joyce, 2009:15). Semuanya itu diarahkan para daerah perkembangan yang memungkinkan bagi si pembelajar ‘zone of proximal development’ (Joyce, 2009:15). Sehubungan dengan itu, model pembelajaran menulis paragraf pada penelitian ini perlu dibangun dengan memperhatikan konsep konstruktivisme yang memperhatikan  scaffolding dan zone of proximal development.


1.      Pengertian Konstruktivisme
            Santrock (2007:8)  dan Brown (2007: 13) mengatakan bahwa konstruktivisme ini merupakan paham yang menekankan pembelajaran dengan mengkondisikan pembelajar untuk membangun (to contruct) pengetahuan dan pemahaman. Sebenarnya, pengetahuan itu merupakan suatu bangunan. Pada saat belajar, siswa dikondisikan untuk membuat kembali bangunan itu dalam koginisi mereka. Dengan demikian, bisa juga dikatakan bahwa upaya membangun pengetahuan pada belajar itu merupakan upaya merekonstruksi pengetahuan.
            Menurut pandangan konstruktivisme, guru bukan sekedar memberikan informasi. Dalam belajar dengan pandangan konstruktivisme ini, guru harus menciptakan keadaan agar para siswa membangun pengetahuan atau informasi yang dihajatkan guru untuk disampaikan pada mereka. Guru harus mendorong siswa untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung, berpikir secara kritis (Brooks & Brooks dalam Santrock, 2007:8). Dalam hal ini, guru bertindak sebagai pembimbing kognitif siswa.
Berkaitan dengan itu, dalam pembelajaran menulis paragraf, informasi yang harus dibangun oleh siswa, di antaranya adalah langkah pembuatan paragraf, cara mengidentifikasi ide pokok pikiran penjelas, jenis ide pokok, dan pedoman penilaian paragraf. Menurut pandangan konstruktivisme, pengetahuan tersebut jangan diberikan oleh guru. Pengetahuan tersebut harus dibangun oleh siswa dengan bimbingan guru. Guru harus menyiapkan objek-objek yang akan menjadi sumber eksplorasi pengetahuan tentang hal tadi. Guru harus menyiapkan rencana struktur kegiatan kognisi siswa dalam membangun pengetahuan tadi. Atas dasar objek sumber eksplorasi pengetahuan tadi, atas dasar rencana struktur kegiatan kognisi siswa, guru membimbing siswa membangun pengetahuan yang dimaksudkan.
2.      Konstruktivisme dalam Konteks Strategi Pembelajaran
Dalam konteks strategi pembelajaran, konstruktivisme ini merupakan salah satu konsep dasar strategi pembelajaran. Di samping konsep dasar konstruktivisme, terdapat juga konsep dasar yang lain. Konsep dasar lain itu, di antaranya adalah metakognitif, material center strategies, dan scaffolding.
Jika dikaji, kaitannya dengan konsep dasar yang lain itu, konstruktivisme ini memiliki hubungan tertentu. Hubungan tersebut terdiri atas hubungan gradual, hubungan substitutive, dan hubungan komplementer.
Kaitannya dengan metagoknitif, konstruktivisme ini memiliki hubungan gradual. Dalam hal ini, kegiatan konstruktivisme merupakan syarat bagi kegiatan metakognitif  (Joyce, 2009:15).
            Metakognitif adalah kognisi tentang kognisi (Flavell dalam Santrock, 2007:340). Dengan kata lain, metakognitif itu adalah memikirkan berpikir. Ada juga yang mengatakan metakognitif itu belajar tentang belajar ‘learning how to learn (Santrock,2007:340; Joyce, 2009:15).
            Dalam perspektif metakognitif, siswa tidak hanya membangun pengetahun, namun juga memikirkan cara membangun pengetahuan tersebut (Santrock,2007:340. Memang siswa diharapkan memiliki pengetahuan yang menjadi substansi pembelajaran. Pengetahuan tersebut diperoleh melaui keaktifan siswa dalam mengeksplorasi dunia  mereka untuk menemukan dan menyusun bangunan pengetahuan tersebut. Eksplorasi, penemuan, dan penyusunan bangunan pengetahuan tersebut dilakukan dengan strategi yang disadari siswa. Kesadaran akan strategi tersebut merupakan bentuk belajar tentang belajar.
Kaitannya dengan konsep material center strategies, konstruktivisme ini memiliki hubungan substitutive. Konstruktivisme merupakan paham yang menekankan pembelajaran pada proses, sehingga siswa harus aktif dalam proses (Joyce, 2009:13). Konsep material center strategies menekankan pembelajaran pada materi pelajaran (Iskandarwassid, 2008:28). Kedua konsep tersebut tidak dapat digabungkan pada satu pembelajaran. Konsep yang satu meniadakan konsep yang satunya lagi. Kedua konsep tersebut berhubungan substitutive. Secara kronologis, memang konstruktivisme ini merupakan reaksi perbaikan terhadap konsep material center strategies.
Kaitannya dengan konsep scaffolding, konstruktivisme ini memiliki hubungan komplementer. Oleh karena itu, konstruktivisme dan scaffolding dapat digabungkan pada satu pembelajaran. Hal ini akan terlihat jelas pada sajian prinsip penerapan konstruktivisme berikut ini.
3.      Prinsip Penerapan Konstruktivisme
Demi keefektifan, dalam pembelajaran menulis paragraf, konstruktivisme ini perlu dilaksanakan dengan memperhatikan konsep lain sebagai prinsip penerepannya. Konsep lain yang dimaksudkan adalah pendekatan pengalaman berbahasa, zona of proximal development, dan scaffolding.
a.      Penerapan Pendekatan Pengalaman Berbahasa
Sebagai makhluk berbahasa, siswa tidak lain adalah sosok yang sudah memiliki kemampuan berbahasa (Santrock, 2007:69). Dardjowidjojo (2008:234) mengatakan bahwa manusia dimanapun juga pasti menguasai bahasa asalkan ia tumbuh di dalam suatu masyarakat. Kenyataannya memang menunjukkan demikian. Siswa hidup di lingkungan berbahasa, baik di keluarganya, tempat bermasyarakatnya, maupun di lingkungan sekolahnya. Para siswa yang belajar paragraf ini sudah memiliki modal berbahasa. Bahkan mereka sudah memiliki pengalaman hidup bersosial.
Berkaitan dengan model pembelajaran menulis paragraf, pengalaman social dan pengalaman berbahasa tersebut bisa dimanfaatkan. Sekaitan dengan itu, ada pendekatan pembelajaran berbahasa yang bernama pendekatan pengalaman berbahasa (Language Experience Approach). Ashton-Warner dalam Tompkins (2008:23) berkata, “The Language Experience Approach (LEA) is one type shared writing. I  is based on children’s language and experience.
Pembelajaran yang berpendekatan pengalaman berbahasa ini sejalan dengan salah satu prinsip pembelajaran, yakni prinsip zone of proximal development. Joyce dkk. (2009:18) mengatakan bahwa pembelajaran harus memperhatikan daerah perkembangan yang memungkinkan. Materi dan tugas pembelajaran yang terlalu rendah akan menimbulkan sikap meremehkan dan malas. Materi dan tugas yang terlalu sulit akan menimbulkan putus asa.
Prinsip tersebut berkaitan dengan kenyataan secara psikologis bahwa kondisi kesiapan siswa itu tertentu. Dalam bukunya Psikologi Umum, Sobur (2003:130-139) menyajikan tahapan-tahapan perkembangan manusia. Ini menunjukkan bahwa manusia, termasuk siswa, memiliki tahapan perkembangan kemampuan yang merupakan kesiapannya dalam belajar.
Dengan demikian, yakinlah bahwa pembelajaran menulis paragraf ini memang harus memperhatikan prinsip zone of proximal development. Untuk mewujudkan prinsip tersebut, pendekatan pengalaman berbahasa (Language Experience Approach) tepat digunakan. Menurut pendekatan ini, kegiatan pembelajaran didasarkan pada pengalaman berbahasa yang sudah dikuasai siswa (Ashton-Warner dalam Tompkins, 2008:23). Untuk penerapan pendekatan pengalaman berbahasa ini, Tompkins (2008:23) memberikan ilustrasi “Children dictation word and sentences about their experiences, and then the teacher writes the dictation.” Dengan demikian, pembelajaran menulis paragraf pun harus memperhatikan pengalaman berbahasa siswa.
Pengalaman berbahasa siswa ini meliputi banyak aspek. Secara umum, pengalaman berbahasa ini terdiri atas aspek bahasa dan aspek isi bahasa. Pikiran utama ditentukan dengan memperhatikan pengalaman social berbahasa siswa. Pengidentifikasian ide pokok didasarkan pada ekstensi ide yang ada pada lingkungan social siswa. Pengembangan ide pokok menjadi kalimat dan paragraf didasarkan pada pengalaman berbahasa siswa.
b.      Zona of Proximal Development
            Pembelajaran harus memperhatikan daerah perkembangan yang paling memungkinkan ‘zona of proximal development’ (Joyce, 2007:18). Daerah ini adalah daerah kemampuan yang dijadikan bahan pembelajaran untuk dikuasai siswa. Daerah tersebut merupakan daerah yang sangat mungkin bisa dilakukan siswa sehubungan dengan tingkat kesiapannya yang memadai. Daerah ini merupakan daerah yang sesuai dengan kesiapan siswa.
            Kemampuan yang dijadikan bahan pembelajaran memang harus mempertimbangkan hal itu.  Bila bahan ajar dibawah tingkat kesiapan anak, siswa akan meremehkan pembelajaran dan akan malas. Bila bahan ajar berada di atas tingkat kesiapan siswa, para siswa akan mengalami kesulitan belajar. Akhirnya, siswa putus asa dan gagal. Dengan demikian, demi efektivitas, pembelajaran memang harus memperhatikan zona of proximal development.
            Penerapan prinsip zona of proximal development pada pembelajaran menulis paragraf bisa dilakukan dengan memilih jenis dan kompleksitas pikiran utama yang akan dikembangkan menjadi paragraf. Jenis dan kompleksitas pikiran utama itu beragam. Hal tu tentu berkonsekuensi terhadap kinerja pembuatan paragraf. Semakin kompleks pikiran utama itu, semakin tinggi tingkat kinerja pembuatan paragrafnya. Oleh kerena itu, pada tahap-tahap awal, perlu dilakukan pengidentifikasian tingkat kesiapan siswa sekaitan dengan jenis dan kompleksitas paragraf dilihat dari pikiran utamanya.
Di samping itu, penerapan prinsip zona of proximal development ini bisa juga diimplementasikan dengan memfungsikan prinsif scaffolding. Melalui scaffolding, volume pembimbingan diatur sesuai dengan kebutuhan siswa. Siswa yang masih belum siap diberikan bimbingan yang relatif banyak daripada siswa yang sudah siap. Pengaturan volume bimbingan ini bisa menggunakan jenis pembimbingan pada menulis model (modeled writing), menulis berbagi (shared writing), menulis interaksi (interactive writing), menulis terbimbing (guided writing), dan menulis bebas (independent writing).
c.      Scaffolding
Scaffolding ini berkaitan dengan konsep zona of proximal development.  Raymond dalam Stuyf (2002) bekata, “The zone of proximal development is the distance between what children can do by themselves and the next learning that they can be helped to achieve with competent assistance”.  Oleh karena adanya zona of proximal development, untuk penguasaan kemampuan berikutnya, dibutuhkan bimbingan. Volume dan struktur bimbingan tersebut disesuaikan dengan kondisi kesiapan siswa. Karenanya, bimbingan tersebut berupa perancah/tangga (scaffolds).
1)     Pengertian Scaffolding
Santrock (2007:392) mengatakan bahwa scaffolding ini adalah teknik mengubah dukungan dengan menyesuaikan jumlah dan jenis bimbingan disesuaikan dengan kinerja siswa. Teknik ini memiliki prinsip bahwa siswa harus diberi bantuan secara berjenjang. Jenjang tersebut bisa berkaitan dengan jumlah; bisa juga berkaitan dengan jenis bimbingan.
Kata scaffolds bermakna tangga atau perancah. Tangga tersebut merupakan format bantuan yang diberikan kepada siswa. Bantuan yang diberikan kepada siswa dilakukan secara bertahap sesuai dengan tingkat kesiapan siswa.
2)     Penerapan Scaffolding dalam Teknik Pembelajaran
Pada pembelajaran menulis, terdapat sederetan teknik pembelajaran yang bisa dijadikan instrumen scaffolding. Teknik yang dimaksudkan adalah teknik menulis model, menulis berbagi, menulis interaktif, menulis terbimbing, dan menulis bebas. Secara berurutan, pada terknik tersebut, kadar bantuan menurun; kadar kesulitan proses bagi siswa meningkat (Capello dalam Tompkins, 2008:21).

a)     Menulis Model
Pemberian bimbingan melalui menulis model ini dilakukan secara tidak langsung. Bimbingan kepada siswa dilakukan dengan memberikan contoh atau model kegiatan menulis (Tompkins, 2008:21).
Kaitannya dengan pembelajaran menulis paragraf, pada pemberian model tersebut, guru menulis suatu paragraf tentang sesuatu di depan kelas. Paragraf yang ditulis guru itu disajikan secara lengkap. Tulisan guru disajikan pada media yang bisa diamati oleh semua siswa. Media tersebut bisa berupa papan tulis atau OHT. Pada saat proses menulis berlangsung, guru mengucapkan secara keras apa yang terjadi pada pikiran untuk melahirkan atau menuangkan pikiran demi pikiran. Pendek kata, pada penulisan model itu terambar bagaimana proses berpikir dan proses menulis paragraf yang bersangkutan berlangsung.
Dengan model ini, diharapkan siswa mendapatkan pemahaman bagaimana proses menulis itu berlangsung. Pada saat guru mengucapkan apa yang terjadi dalam berpikir untuk menulis, siswa mendengarkan dan memahaminya. Pada saat guru menuliskan setiap pikiran yang muncul, siswa melihat, membaca, dan memahaminya. Selanjutnya, diharapkan siswa dapat meniru proses menulis paragraf yang dimodelkan.
 Tompkins (2008:23) mengatakan bahwa menulis model ini cocok untuk maksud:
(a)    mendemonstrasikan cara menulis jenis baru dalam kegiatan menulis sebelum siswa melakukannya secara mandiri atau secara berkelompok;
(b)   mendemonstrasikan penggunaan aspek-aspek stretegi menulis, seperti mengoreksi tulisan, menggabungkan kalimat, dan memperbaiki tulisan;
b)     Menulis Berbagi
Sama dengan pada menulis model (modeled writing), pemberian bimbingan pada menulis berbagi (shared writing) ini dilakukan secara tidak langsung. Bimbingan kepada siswa dilakukan dengan menghadirkan contoh praktek menulis.  Contoh praktek menulis tersebut berlangsung melalui kegiatan berbagi pikiran (sharing idea) antara guru dan siswa (Tompkins , 2008:23).
Kaitannya dengan pembelajaran menulis paragraf, pada menulis berbagi (shared writing) ini, guru dan siswa bersama-sama merencanakan penulisan suatu paragraf. Secara bersama-sama juga, pikiran utama ditetapkan. Secara bersama-sama pula pikiran penjelas diidentifikasi. Kemudian, dengan bersama-sama juga pikiran-pikiran tersebut disusun menjadi sebuah paragraf pada media yang bisa diamati bersama. Dalam menuliskan paragraf, pelakunya adalah guru. Siswa hanya berperan sebagai peserta sharing idea.
Dengan model ini, diharapkan siswa mendapatkan pemahaman dan pengalaman kecil tentang bagaimana proses menulis paragraf itu berlangsung. Pada saat sharing tentang penetapan pikiran utama, diharapkan siswa memahami dan mengalami penetapan pikiran utama. Pada saat sharing tentang pengidentifikasian pikiran penjelas, diharapkan siswa memahami dan mengalami pengidentifikasian pikiran penjelas. Pada saat penyusunan pikiran menjadi paragraf yang dilakukan guru di depan kelas, diharapkan siswa mengamati dan memahami bagaimana cara menyusun pikiran menjadi sebuah paragraf.
Tompkins (2008:23) mengatakan bahwa menulis berbagi (sharing writing) ini ini cocok untuk maksud:
(a)    mendemonstrasikan cara kerja menulis;
(b)   mencatat ide-ide siswa;
(c)    menulis suatu teks di kelas sebelum siswa bisa menulis secara mandiri.
c)      Menulis Interaktif
Berbeda dengan menulis model (modeled writing) dan menulis berbagi (shared writing), menulis interaktif (interactive writing)  menyajikan bimbingan kepada siswa secara langsung. Pada saat interaksi antara guru dan siswa dalam hal berbagai hal tentang penulisan suatu teks, sebelum siswa menuliskan pikiran-pikiran hasil interaksi, guru membimbing siswa dalam hal tiap aspek yang terkait dengan penulisan teks yang bersangkutan (Tompkins , 2008:24).
Kaitannya dengan pembelajaran menulis paragraf, pada menulis interaktif (interactive writing) ini, ada persamaannya dengan pada menulis berbagi (sharing writing), guru dan siswa bersama-sama merencanakan penulisan suatu aragraph. Secara bersama-sama juga, pikiran utama ditetapkan. Secara bersama-sama pula pikiran penjelas diidentifikasi. Kemudian, dengan bersama-sama juga pikiran-pikiran tersebut disusun menjadi sebuah paragraf pada media yang bisa diamati bersama.
Perbedaannya dengan sharing writing, yang menuliskan paragraf bukan hanya guru. Siswa pun menulis paragraf yang bersangkutan pada catatannya masing-masing. Perbedaan lain, pada interactive writing ini, guru menjelaskan cara atau hal lain berkaitan dengan tiap aspek kegiatan penulisan paragraf.
Dengan model ini, diharapkan siswa mendapatkan pemahaman dan pengalaman tentang bagaimana proses menulis paragraf itu berlangsung. Pada saat sharing tentang penetapan pikiran utama, diharapkan siswa memahami dan mengalami penetapan pikiran utama. Pada saat sharing tentang pengidentifikasian pikiran penjelas, diharapkan siswa memahami dan mengalami pengidentifikasian pikiran penjelas. Pada saat guru menjelaskan tentang cara dan hal lain yang berkaitan dengan aspek-aspek kegiatan menulis paragraf, diharapkan siswa memperhatikan dan memahami penjelasan yang bersangkutan. Pada penyusunan pikiran menjadi paragraf yang dilakukan guru di depan kelas, diharapkan siswa mengamati dan memahami bagaimana cara menyusun pikiran menjadi sebuah paragraf. Pada penyusunan pikiran menjadi paragraf yang dilakukan siswa sendiri, diharapkan siswa mendapatkan pengalaman menulis paragraf sesuai dengan arahan guru.
Sebenarnya, interactive writing ini tidak hanya bisa gunakan untuk menulis paragraf. Untuk kegiatan menulis lainnya pun bisa. Tompkins (2008:24) mengatakan bahwa menulis interaktif (interactive writing) ini ini cocok untuk maksud:
(a)    mendemonstrasikan penulisan kata dan kalimat;
(b)   mendemonstrasikan huruf capital dan tanda baca;
(c)    mendemonstrasikan penulisan suatu teks yang siswa belum bisa melakukannya sendiri.
d)     Menulis Terbimbing
Sama dengan menulis interaktif (interactive writing), menulis terbimbing (guided writing) ini menyajikan bimbingan secara langsung. Tompkins (2008:27) berkata, “Teacher scaffold or support children’s writing during guided writing, ….” Sebelum dan selama proses menulis dilakukan siswa, guru memberikan penjelasan-penjelasan tentang aspek-aspek terkait pada proses menulis yang bersangkutan.
Kaitannya dengan pembelajaran menulis paragraf, pada menulis terbimbing ini, guru membuat rencana kegiatan menulis terstruktur tentang suatu paragraf. Kegiatan terstruktur tersebut berupa urutan atau tahapan kegiatan menulis paragraf. Konsep dan cara melakukan setiap tahapan tersebut dijelaskan guru. Selanjutnya, siswa menulis paragraf sesuai dengan struktur kerja yang direncanakan dan dijelaskan guru. Pada saat siswa menulis paragraf, guru mengawasi kegiatan siswa tersebut. Berkenaan dengan hal itu, Tompkins (2008:27) berkata, “The teacher plan structured writing activities and then supervise as children do the writing.”
Dengan model ini, diharapkan siswa mendapatkan pemahaman dan pengalaman tentang bagaimana proses menulis paragraf itu. Dalam model ini, pemberian bimbingan jelas sekali diberikan guru kepada siswa dalam bentuk rancangan kegiatan terstruktur dan penjelasannya. Dari hal tersebut, diharapkan siswa memahami proses pembuatan paragraf. Dalam model ini, juga terlihat ada pemberian pengalaman membuat paragraf dengan pengawasan guru.
Tompkins (2008:28) mengatakan bahwa menulis terbimbing (guided writing) ini cocok untuk maksud:
(a)    merancah pengalaman menulis bagi siswa;
(b)   mengenalkan tipe atau cara tertentu yang berbeda dalam kegiatan menulis;
(c)    membelajarkan siswa dalam proses menulis.
e)      Menulis Bebas
Dalam menulis bebas, pemberian bimbingan ini sangat minim. Pemberian bimbingan dilakukan pada saat monitoring perkembangan kegiatan menulis yang dilakukan siswa (Tompkins, 2008:22). Sebelum atau pada proses penulisan, guru tidak memberikan bimbingan. Bimbingan diberikan pada akhir kegiatan siswa dalam menulis. Hasil tulisan siswa diakui sebagai bukti perkembangan kemampuan siswa.
            Kaitannya dengan pembelajaran menulis paragraf, pada model menulis bebas ini, siswa lebih banyak berbuat. Perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan revisi tulisan dilakukan siswa. Siswa hanya berperan sebagai pemonitor dan pembimbing sewaktu monitoring.
            Tompkins (2008:28) mengatakan bahwa menulis terbimbing (guided writing) ini cocok untuk maksud:

  • (a)    menyediakan konteks riil dalam praktek menulis;
  • (b)   memberikan kesempatan pada siswa untuk memilih topik dan bentuk tulisan;
  • (c)    membuat dan mempublikasikan tulisan.

W  Wawan Gunawan/PBS FKIP Unja

1 komentar: